Surya Paloh Menjalankan Asketisme Politik Yang Tak Pernah Silau Dengan Hingar Bingar Kekuasaan
Oleh : Moch Eksan
INDONESIA Pasca Reformasi 1998, telah melangsungkan 5 kali pemilu multipartai, 4 kali pemilihan presiden secara langsung, 132 kali pemilihan gubernur langsung dan 2056 kali pemilihan bupati/walikota langsung pula.
Pemilu di Indonesia telah menjadi agenda rutin 5 tahunan dalam proses keberlangsungan demokrasi dan pemerintah demokratis di seluruh wilayah Indonesia. Rakyatlah yang menentukan penyusunan pemerintahan hasil pemilu sebagai pemegang kedaulatan yang tertinggi berdasarkan konstitusi.
Semua pemimpin yang berkuasa lahir dari rahim pemilu yang demokratis. Sumber daya kepemimpinan nasional dan daerah berasal dari latarbelakang yang beragam. Semua warga negara punya hak asasi yang sama di depan hukum dan pemerintahan untuk terlibat dalam penyelenggaraan negara, tanpa terkecuali. Siapa pun yang dipercaya oleh rakyat tak peduli latarbelakang apa pun, maka dialah yang memegang mandat rakyat dalam menyelenggarakan negara, melaksanakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, melayani kepentingan publik, memberdayakan masyarakat serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump di sebuah forum APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Vietnam (11/11/2017), memuji Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang berhasil menumbuhkan demokrasi, mengurangi kemiskinan dan negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi paling cepat di Asia.
Meskipun Indeks Demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir menurun. Terutama pra dan pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 yang ditandai dengan menguatnya politik aliran dan maraknya kasus intoleransi.
Sebuah lembaga riset bisnis dan ekonomi yang berbasis di Inggris, EIU (The Economish Intelligence Unit), merilis data teranyar peringkat demokrasi Indonesia pada 2019 berada di posisi 64 dari 167 negara di dunia. Peringkat ini turun bila dibandingkan pada 2016 yang berada di posisi 48 dari 167 negara di dunia tersebut.
Kondisi demokrasi di Indonesia harus
dijaga dan dipelihara. Semua pihak punya tugas dan tanggungjawab bersama, bagaimana setiap momentum politik demokratis kian menyuburkan persemaian nilai-nilai agama dan demokrasi di Tanah Air. Apalagi partai politik yang menjadi alat perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan yang sah.
Partai politik menjadi entry point dari aspirasi rakyat melalui lahirnya pemimpin pro rakyat yang lahir dari pilihan rakyat langsung. Meski citra partai tak terlalu baik di hadapan rakyat akibat ulah segelintir orang yang terlibat kasus korupsi. Partai tetap penting menjadi pintu masuk untuk melakukan restorasi Indonesia. Indonesia membutuhkan partai yang bukan sekadar mengusung jargon restorasi Indonesia, tapi juga setia memperjuangkannya. Peta partai menunjukkan sangat sedikit partai yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki kondisi bangsa yang kapitalis dan liberalis. Alih-alih memperbaiki, tak jarang menikmati kondisi bangsa yang carut marut.
Surya Paloh dan Partai NasDem yang naga-naganya menunjukkan keseriusan dan konsisten dalam merestorasi Indonesia.
Surya Paloh, pengusaha sukses, politisi senior dan tokoh pers, dengan jujur tanpa malu-malu mengakui Indonesia sekarang menjadi negara kapitalis yang liberal. Pernyataan ini diiringi dengan pertanyaan besar, dimana ideologi Pancasila yang mengajarkan ekonomi yang berasas kekeluargaan dan keadilan sosial ?
Pengakuan Surya Paloh ini menandai kritik dari dalam koalisi pemerintahan yang mulai pecah kongsi antara Partai NasDem dengan partai-partai pendukung Jokowi terutama PDIP. Padahal, sesungguhnya pernyataan Surya Paloh selesai memberikan Kuliah Umum di Universitas Indonesia (15/08/2019) tersebut, sebuah keprihatinan terhadap pembangunan ekonomi yang lebih banyak dijalankan dengan cara-cara kapitalis liberal.
Ekonomi koperasi dibangun ala kadar dan asal jalan untuk menggugurkan kewajiban konstitusional semata. jadi, jelas jelas bukan sokoguru ekonomi nasional yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa.
Partai NasDem tetap setia terhadap KIK (Koalisi Indonesia Kerja) di bawah kepemimpinan Jokowi, tanpa merasa kikuk membangun komunikasi dan
silaturrahmi dengan partai-partai yang berada di luar pemerintahan. Semua dibangun di atas cita-cita luhur
membangun harmoni bangsa. Kendati, di level pemain tengah, perang pernyataan
masih acapkali terjadi di media sosial antara pro Jokowi dan pro Prabowo. Sementara, pemeran utamanya sudah bersama dan bekerjasama, fokus
menyelesaikan agenda problematika bangsa.
Tantangan konsolidasi demokrasi kedepan adalah kebebasan berbicara kebablasan. Penggunaan media
sosial seringkali digunakan untuk menyebarkan hoaxs, ujaran kebencian dan menyerang pribadi serta pembunuhan karakter. Sedangkan, pengguna media sosial di Indonesia kini sudah mencapai 160 juta. Hasil riset We Are Social tersebut mencatat pengguna media sosial aktif dari 175,2 juta pengguna internet di Tanah Air.
Pangsa pasar media sosial telah mengundang selera pengiklan, pasangan calon presiden, gubernur, bupati/walikota, dan partai politik untuk mempromosikan dan menyosialisasikan produk barang atau jasa atau politiknya. Sedangkan, pengguna media sosial aktif
belum selektif, mudah terpengaruh dan seringkali terpancing berkomentar yang memperburuk keadaan.
Terasa atmosfir sosial politik Indonesia sekarang pengap. Akibat, centang peranang pengguna media sosial yang belum cerdas dan arif. Semua itu efek dari hyperrealitas yang seolah-olah kondisi sosial politik runyam. Padahal, sesungguhnya yang terjadi di level
masyarakat akar rumput biasa-biasa saja. Mereka hidup berdampingan, rukun dan damai.
Jean Baudrillard menyebut hyperealitas merupakan ketidakmampuan pengguna media soal dalam membedakan realiti dan fantasi. Maka muncullah kata, sikap dan tindakan memperuncing pertentangan dan pertikaian yang memicu kerawanan sosial dan instabilitas politik. Seperti contoh, retaknya hubungan Surya Paloh dan Megawati Soekarno Putri tak lebih dari efek hyperrealitas juga. Hasto Kristanto, Sekjen PDIP, menyebutkan bahwa media sosial memperkeruh drama hubungan kedua pimpinan partai tersebut. Padahal, hubungan antar keduanya baik-baik saja. Surya Paloh berulang-ulang menegaskan bahwa ia dan Megawati tak miliki masalah pribadi sedikit pun dan sudah berteman baik lebih dari 40 tahun.
Contoh lain dari efek hyperrealitas drama berpelukan Surya Paloh dan Sohibul Iman, dianggap Partai NasDem membuat poros politik baru bersama dengan partai di luar pemerintahan.
Sampai-sampai Jokowi merasa cemburu terhadap peristiwa di DPP PKS, dan orang nomor 1 di Republik ini meminta Surya Paloh memeluk lebih erat daripada memeluk Sohibul Iman. Kejadian berpelukan erat antara Surya Paloh dan Jokowi dipertontonkan di hadapan kader yang hadir di acara Peringatan Ulang Tahun Partai NasDem ke-8 yang digelar di JIExpo, Kemayoran, Jakarta (11/11/2019), dan disaksikan jutaan mata rakyat yang menonton siaran langsung tersebut.
Tafsir yang berlebihan atas sebuah peristiwa politik dinilai oleh Surya Paloh sebagai politik picisan. Berpelukan sebagai tanda persuadaraan dan persahabatan antar anak bangsa bila bertemu, digiring seolah-seolah mengandung pesan simbolik pilihan politik dalam dan atau luar koalisi pemerintahan. Nyatanya, Partai NasDem tetap menjadi pendukung setia Jokowi sekaligus menjadi teman baik partai-partai di luar pemerintah. Peran ganda tidak menyebabkan respon publik jelek. Malahan, Partai NasDem dinilai cerdas dan cerdik mengambil posisi tatkala masuknya Prabowo Subianto dan Partai Gerindra dalam pemerintahan telah menyisahkan kekecewaan di kalangan pendukungnya.
Partai NasDem seperti yang ditegaskan Surya Paloh, dalam menjalankan komunikasi politik, cair. Semua diajak berbicara, tanpa membawa beban psikologis pada pemilu yang berkompetisi dengan sengit. Partai NasDem tak mau terjebak dengan sekat-sekat psikologis akibat perebutan massa pemilih di tingkat bawah.
Cairnya komunikasi politik Partai NasDem ini ditopang oleh bawaan kepribadian Surya Paloh yang terbuka dan pandai bergaul sejak muda sampai sekarang.
Surya Polah politisi gaek yang sudah sangat matang, mempunyai idealisme yang tinggi dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia tak punya ambisi apa pun, kecuali ingin melihat Indonesia lebih baik dari sebelumnya. Fikiran, tenaga, harta dan nyawanya siap dikorbankan demi Ibu Pertiwi. Semangat berkorban tanpa pamrih yang memuluskan manuvernya di dalam maupun di luar pemerintahan.
Keluarga besar Partai NasDem harus bersyukur memiliki Surya Paloh sebagai Ketua Umum. Sekarang, ia satu-satunya Ketua Umum partai yang tak punya
ambisi struktural apa pun dalam pemerintahaan.Tak ingin menjadi presiden atau wakil presiden, tak ingin menjadi menteri dan atau jabatan publik apa pun. Ia memilih sebagai teacher of nation yang memberi kesempatan seluas-seluasnya kepada putra-putri terbaik bangsa untuk tampil.
Surya Paloh banyak berjasa melahirkan politisi sekaligus negarawan yang telah, sedang dan akan memimpin negeri, baik dalam jabatan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan tangan dingin, Partai NasDem menjadi partai yang paling terbuka untuk siapa pun yang ingin berjuang merestorasi Indonesia. Kader non kader, tak lazim dalam wacana kaderisasi partai. Surya Paloh dengan tegas menyebut Partai NasDem sebagai rumah besar bagi kaum pergerakan.
Yudi Latif menyebut sisi profetik dalam sepak terjang politik Surya Paloh yang memilih jalan moral daripada jalan kekuasaan. Satu sisi kata Mantan Ketua BPIP ini, Surya Paloh menolak tawaran PDIP menjadi calon wakil presiden Jokowi pada Pemilu 2014, tapi di sisi lain, ia tetap mendukung Jokowi tanpa syarat.
Surya Paloh menjalankan asketisme politik yang tak pernah silau dengan hingar bingar kekuasaan, walau ia Ketua Umum partai politik yang didesain sebagai alat perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. (AH)
OLEH : MOCH. EKSAN*
*Penulis Pendiri Eksan Institute dan Ketua Bidang Agama dan Masyarakat Adat DPW Partai NasDem Jawa Timur
Komentar