Masmuni Mahatma, Dosen Filsafat UIN SGD Bandung. (Dok/Istimewa). |
Oleh Masmuni Mahatma
Lensajatim.id, Opini-Adzan adalah panggilan religius. Panggilan Allah, melalui suara hamba-Nya, agar manusia menghadap Allah dengan seksama. Namanya panggilan, tentu ada artistika atau seni untuk menggapai spirit luhurnya. Dalam keseharian kehidupan kita, panggilan dari dan antar sesama, tentu tidak sembarangan. Tiap diri kita memiliki tekanan suara yang cukup lantang. Namun ketika memanggil teman, sahabat, sejawat, atasan, atau umat sesama di hadapan kita, sama sekali tak mungkin manggil tanpa etika. Ini nyata. Ini bagian tatakrama kehidupan. Dalam koridor agama, Rasulullah telah mengajarkan supaya kita saling lemah lembut, termasuk dalam panggil-memanggil. "Idza lakitahu, fasallim alaih", ketika kita berjumpa sesama, mesti mengawali dengan sapaan rendah hati, panggilan keakraban dan kehangatan.
Adzan, merupakan panggilan religius terhadap sesama kita selaku hamba. Kalau kepada sesama manusia kita mesti memanggil dengan santun, lembut, dan mesra, terlebih kepada Allah, tak bisa disembarangkan. Ada etika yang patut diwujudkan. Ya, etika keindahan tatasuara, etika kelembutan berposisi dan bersikap, etika kehangatan, dan kekhusyu'an demi leburnya diri dengan kebesaran Allah. Sebagaimana Allah telah menyifati Diri tidak tuli, dan Mahamendengar, ini adalah isyarat esensial religius yang mesti kita cermati. Apalagi kalau sudah pakai toa, speaker. Otomatis akan terkait dengan realitas kehidupan di luar diri kita masing-masing. Di sinilah ruang SE 05 Tahun 2022, menemukan ruang eksplorasi dan implementasinya. Jadi bukan pada adzan secara denotatif atau konotatif, melainkan pada salah satu media untuk transformasi nilai-nilai luhurnya. Ini yang dicarikan dan disiapkan estetikanya.
Sekadar contoh, suara lembut, syahdu, dan merdu saat memanggil sesama manusia, akan lebih komunikatif dalam aspek nilai dan capaian. Lebih-lebih kalau, panggil-memanggil itu dalam konteks cinta-kekasih yang saling rindu. Tak terkecuali bagi kita sebagai hamba dengan Allah. Akan terasa sangat nikmat, efisien, dan menggugah. Lebih khusyu' dan bertenaga secara religius. Dalam konteks cinta berbasis religiusitas, kata seorang filosof (Erich Fromm), mestinya kita mengedepankan sikap-loyalitas mencintai daripada dicintai. Dengan begitu, kita hadir di hadapan Tuhan tanpa harus dipanggil terlebih dahulu. Apalagi kalau sampai pakai media "pengerasan" atasnama pemanggilan. Dan cinta itu, sempurna kalau melebihi cinta itu sendiri. Bahkan cinta Tuhan, pemilik diri kita ini, adalah cinta yang menunggu dengan sabar, menyambut penuh kegembiraan siapa pun yang pernah menjauh. Cinta yang membina dan mengoreksi, meneduhkan menghangatkan, bukan mendistorsi.
Oleh karena itu, mari kita cermati dan tempatkan adzan dengan berbagai makna dzahir, lahir, maupun irisan kontekstualnya pada alur panggilan berbasis cinta dan kerinduan religius. Sehingga dalam kehambaan, kita akan menjadi lebih pro-aktif, empatik, produktif, dan bukan semata "penggal-memenggal" agar terlihat viral-fenomenal. Astagfirullah....!
* Penulis adalah Dosen Filsafat UIN SGD Bandung sekaligus Ketua PW GP Ansor Babel
Komentar