Anies Rasyid Baswedan , Bakal Calon Presiden (Bacapres) Partai NasDem . (Dok/Istimewa). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Pernyataan satir Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Dr Ir Hasto Kristanto, MM, "Itu di Hotel Yamato, di mana para pejuang kita, kan, ada bendera Belanda, birunya dilepas. Ternyata birunya juga terlepaskan dari pemerintahan Pak Jokowi sekarang karena punya calon presiden sendiri".
BUKAN BIRU BELANDA
Pernyataan Hasto tersebut jelas menyindir NasDem sebagai partai berwarna Biru, partai koalisi pemerintah serta telah mendeklarasikan calon presiden 2024. Ini bukti Hasto tak menyimak dengan baik pernyataan Ketua Umum NasDem, Surya Paloh waktu ditanya soal hubunganya dengan Jokowi dan sikapnya terhadap pemerintah yang berkuasa sekarang.
NasDem tak ujug-ujug mendeklarasi Anies Rasyid Baswedan tanpa komunikasi dengan Jokowi. Responnya menurut Surya Paloh, baik dan bagus serta sang presiden menghargai sikap NasDem tersebut. Jawaban Ini lebih dari cukup. Selama ini komunikasi antara presiden dengan NasDem berjalan intensif selama 8 tahun lebih pemerintahannya.
Nampak amat kentara pernyataan Hasto sangat tidak kontekstual, apalagi membandingkan bendera Biru Belanda dengan bendera Biru NasDem tak memiliki hubungan sama sekali. Pembandingan dua Biru bendera tersebut menunjukkan kekacauan berfikir yang sarat dengan kebencian dan penuh sinisme.
Sinisme berasal dari Bahasa Yunani, "Cynic" yang berarti sebuah pandangan yang menganggap orang lain lebih buruk. Seorang yang punya ambisi besar yang dipenuhi ketidaksukaan dan ketidaksenangan terhadap kesejahteraan dan kemakmuran orang lain.
Hasto terjangkit Anies-phobia. Ia dilanda ketakutan dan kecemasan akut terhadap Anies yang telah mengalahkan calon gubernur yang didukungnya. Padahal, di atas kertas berdasarkan semua lembaga survey, sang calon selalu bertengger di urutan teratas.
Atas kekalahan tersebut, Hasto sepertinya belum bisa move on dan menyalahkan Anies beserta para penyokongnya dengan menggunakan "politik identitas". Istilah ini digunakan oleh anti Anies untuk mengkonsolidasikan dendam kesumat atas rasa kecewa dan marah akibat kekalahannya pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Ada fakta, selama 5 tahun Anies memimpin Jakarta tak ada satu pun kebijakannya yang mengarusutamakan kepentingan kelompok tertentu. Semua diperlakukan setara. Tak ada kegaduhan sosial yang berlatar konflik SARA, apalagi yang dipicu oleh kebijakan sang gubernur bekas Wilayah Batavia. Ini bukti, Anies seorang pemimpin yang bisa mengelola keanekaragaman dalam persatuan.
Banyak yang tak tahu, Anies adalah mantan Rektor Universitas Paramadina yang mewarisi Islam Tarikat Nurkholishy dari Cak Nur. Seorang pembaharu pemikiran Islam yang memadukan Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan dalam satu tarikan nafas.
Suatu kedunguan, menganggap Anies 'Bapak Politik Identitas" mengembangkan pemikiran intoleran dan mengusung ide Khilafah, seperti tudingan Hasto. Ia pasti sangat awam terhadap peta bumi intelektualisme muslim Indonesia.
Saya belum menemukan cuplikan pernyataan Anies, baik berupa lisan maupun tulisan, yang berbicara soal Khilafah. Narasi besar yang dikembangkan perihal melunasi janji kemerdekaan, tenun kebangsaan, pendidikan sebagai eskalator ekonomi, Indonesia mangajar, Indonesia menyala, kelas inspirasi, kualitas manusia Indonesia, pemahaman akar rumput dan kompetisi global.
Anies layaknya Cak Nur dan Gus Dur sebagai intelektual muslim Indonesia yang mengubur cita-cita politik "Negara Islam". Ia benar-benar menyadari sedari lahir membawa identitas agama dan negara sekaligus. Ia muslim sekaligus warga negara Indonesia. Dua identitas ini tak bisa dipisahkan satu sama lain.
DARAH BIRU
Anies adalah anak keturunan hadromi yang ikut meletakkan kerangka landasan Indonesia merdeka. AR Baswedan, kakeknya, adalah anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Wakil Menteri Penerangan ke-2 di era Sutan Sjahrir dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Bapak ibunya, seorang dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Rasyid Baswedan, ayahnya, adalah pengajar di Fakultas Ekonomi UII, sedangkan, Aliyah Rasyid, ibunya, adalah pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi UNY. Darah pejuang dan guru mengalir dalam tubuh Anies.
Oleh karena itu, pencapresan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode Kabinet Jokowi pertama ini, tak membuat Biru bendera NasDem menjadi Biru bendera Belanda. Akan tetapi menjadi Biru yang melambangkan kepercayaan dan kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Juga Biru yang menggambarkan air dan langit yang menandakan kebebasan dan ketenangan seluruh tumpah darah Indonesia.
Jadi, rotasi biru dalam logo NasDem adalah simbol perputaran yang dinamis dengan semangat dan harapan baru, serta keterbukaan dan ketegasan dalam mencapai tujuan bersama. Sedangkan, gestur jingga yang memeluk adalah lambang kebersamaan, dan keutuhan bergerak atas dasar semangat pembaharuan disamping kecepatan dalam menampung aspirasi rakyat. Bravo Anies, Bravo NasDem!!!
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute.
Komentar