Anies Baswedan. (Dok/Istimewa'). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Banyak pihak memprediksikan Kartu Anies Rasyid Baswedan sudah mati setelah 3 partai pengusungnya pada Pilpres 2024 berpaling pada Ridwan Kamil sebagai calon gubernur DKI Jakarta. PKS, PKB dan Partai NasDem telah bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung mantan Gubernur Jawa Barat tersebut.
KIM yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat dan lain-lain, memang untuk memenangkan RK, Anies harus gagal mendapat kendaraan untuk maju. Dan gabungan partai pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berhasil memalingkan Koalisi Perubahan dari sang Abah.
Banyak pihak mengatakan pencalonan Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta sudah game over. Mantan rival Prabowo ini menghadapi kekuatan politik maha besar yang hendak menyingkirkan dari panggung politik. Tak jarang orang menyebut itu ongkos yang harus dibayar dari serangan kritikal terhadap Presiden Terpilih dalam debat Pilpres yang lalu.
Namun rupanya alam masih berpihak. Kartu Anies hidup kembali pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan uji material Undang-undang Pilkada. Terutama ambang batas kursi atau suara partai atau gabungan dalam mengusung calon kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga membuka kembali peluang Anies mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta.
Padahal, setelah deklarasi paslon RK-Suswono pada Senin, 19 Agustus 2024 di Hotel Sultan Jakarta, peluang Anies terasa sudah benar-benar tertutup. 12 partai mengusung pasangan ini, termasuk 3 partai pengusung Anies dahulu. Praktis hanya tinggal PDI Perjuangan saja sebagai partai parlemen di DPRD DKI Jakarta. 15 kursi yang dikantongi oleh partai besutan Megawati Soekarnoputri tak cukup untuk memenuhi syarat minimal yang diatur dalam ketentuan Pasal 40 UU Pilkada.
Ketentuan pasal tersebut menggariskan ambang batas kursi atau suara sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara hasil pemilu terakhir. Kini, MK telah merubah dengan mengacu pada semata-semata suara sah hasil pemilu. Berkahnya, Partai non parlemen juga bisa mengajukan calon kepala daerah, serta membuka peluang tampilnya calon kepala daerah yang lebih banyak. Selain, skenario kotak kosong gagal total.
MK telah membuka kran pencalonan Anies kembali. Penurunan ambang batas menjadi 7,5 persen suara sah bagi provinsi yang memiliki daftar pemilih sebanyak 6-12 juta, Anies berpotensi maju dan menang. Tinggal bagaimana kekuatan politik yang tersisa bisa kompak bersama-sama mengusungnya.
Dalam konteks DKI Jakarta, jumlah 7,5 persen dari suara sah Pileg 2024 sebesar 455.043 dari total 6.067.241 suara. Jumlah tersebut dapat dipenuhi oleh perolehan suara PDI Perjuangan yang mencapai 850.174 suara. Sedangkan, Partai non parlemen yang meliputi Partai Buruh (69.969), Gelora (62.850), PKN (19.204), Hanura (26.537), Garuda (12.826), PBB (15.750), Ummat (56.271) hanya total mencapai 263.407 suara sah.
Jadi, PDI Perjuangan merupakan satu-satunya pintu Anies untuk maju. Sementara suara non parlemen tak cukup syarat memenuhi ambang batas pencalonan berdasarkan suara sah di atas. Sekarang, semua berpulang kepada Anies dan PDI Perjuangan itu sendiri. Bisakah, mengawinkan dua kekuatan politik perseorangan dan partai demi memenangkan kontestasi dalam melawan pasangan yang didukung oleh rezim penguasa.
Memang hubungan Anies dan PDI Perjuangan acapkali bersimpangan jalan. Dua kali memomentum pemilu justru berhadap-hadapan, baik pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017 maupun Pilpres 2024. Namun kesamaan kepentingan untuk mengalahkan rezim penguasa sangat memungkinkan untuk menyatukan dua kekuatan oposisi.
Belajar dari dinamika politik di DKI Jakarta, bahwa politik di Indonesia saat ini sangat jangka pendek sekaligus pragmatis. Hari ini berkawan besok sudah berlawan. Begitu seterusnya. Benar kata pepatah, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.
Apakah Anies benar-benar bisa maju berdampingan dengan kader PDI Perjuangan? Atau memajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sendiri tanpa Anies? Segala kemungkinan bisa terjadi menjelang jadwal pendaftaran.
Dengan demikian, Anies masih punya PR untuk meyakinkan PDI Perjuangan bersama-sama berjuang memimpin kembali Jakarta. Bila maju, maka usaha dan ikhtiar harus dilipatgandakan. Tak mudah merebut mandat rakyat DKI Jakarta. Sebab, faktanya Anies bisa dikalahkan oleh Prabowo di kandang sendiri pada Pilpres lalu. RK memang bukan Prabowo, tapi dia tokoh yang dijadikan alat bersama untuk mematahkan perjuangan Anies mewujudkan Jakarta yang maju kotanya dan sejahtera rakyatnya.
Apalagi sentimen anti imigran Yaman sedang gencar-gencarnya akibat ribut nasab Ba'alawi. Kecil atau besar, Anies pasti terkena imbasnya. Sebagai seseorang anak keturunan hadromi yang sudah sangat mengindonesia, Anies telah memberikan contoh sebagai intelektual muslim moderat.
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku Kerikil Di Balik Sepatu Anies.
Komentar