|
Menu Close Menu

Willy Aditya Sebut Butuh Political Will Kuat Pimpinan DPR untuk Wujudkan UU PPRT

Kamis, 15 Agustus 2024 | 08.08 WIB

 

Willy Aditya, Wakil Ketua Baleg DPR RI. (Dok/Istimewa). 
Lensajatim.id, Jakarta- Perlu kesadaran para politisi di Senayan untuk memahami esensi dari Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) serta kesadaran bergerak bersama agar undang-undang PPRT segera terwujud.


"Kita berharap pada sidang paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 27 September 2024 mendatang, RUU PPRT ini bisa disahkan menjadi undang-undang ," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Bedah RUU PPRT: Perlindungan untuk Pemberi dan Penerima Kerja - dari Apriori ke Afirmasi DPR RI yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (14/8).


Diskusi yang dimoderatori Indra Maulana (jurnalis Metro TV) itu menghadirkan Willy Aditya (Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI),  Rahmat Syafaat (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), Airlangga Pribadi Kusma (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga) dan Sri Palupi (Peneliti - Pendiri Institute for Ecosoc Rights) sebagai narasumber.


Selain itu hadir pula Eva Kusuma Sundari (Direktur Institute Sarinah) sebagai penanggap.


Menurut Lestari, catatan terkait pekerja rumah tangga (PRT) sudah begitu banyak, tetapi tidak dipedulikan oleh pimpinan DPR. "Ini yang menjadi tanya besar bagi kami," ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.


Padahal, tegas Rerie, pada RUU PPRT ini kita bicara tentang hak asasi manusia.


Bila RUU PPRT berhasil menjadi undang-undang, tambah anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, berarti negara menempatkan manusia sebagai manusia, menghargai setiap kerja manusia dan menghargai manusia sebagai makhluk Tuhan.


"Dengan esensi perlindungan yang terkandung dalam RUU PPRT, mengapa sampai 20 tahun pembahasan untuk dijadikan undang-undang," ujar Rerie yang juga legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.


Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan, sejatinya kendala dalam proses legislasi pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) lebih besar karena terkait bias agama, jika dibandingkan dengan pembahasan RUU PPRT saat ini.


Sejauh ini, tambah Willy, di Badan Musyawarah DPR belum ada pembahasan terkait RUU PPRT, sementara di hampir setiap rapat paripurna selalu ada interupsi terkait perlindungan PRT.


Di sisi lain, jelas Willy, surat presiden untuk menindaklanjuti pembahasan RUU PPRT sudah dilayangkan sejak lama ke pimpinan DPR.


"Kita butuh strong politicall will dari pimpinan atau lebih tepatnya Ketua DPR RI," tegas Willy.


Padahal, ungkap dia, pada RUU PPRT ini lebih banyak menerapkan asas kekeluargaan dan kemanusiaan.


Hingga saat ini, jelas Willy, RUU PPRT belum masuk pembahasan tingkat I sehingga menjadi kendala untuk bisa di-carry over ke periode mendatang.


"Tetapi kami bertekad untuk menuntaskan pembahasannya pada periode ini," tegasnya.


Direktur Institute Sarinah, Eva Kusuma Sundari mengungkapkan kelompok yang menolak RUU PPRT saat ini, pada awalnya merupakan kelompok yang mendukung RUU PPRT.


Eva mengakui mendapatkan kesulitan saat berupaya membangun komunikasi kepada pimpinan partai politik yang menolak RUU PPRT, agar segera mengesahkannya menjadi undang-undang.


"Semua cara untuk melobi sudah dilakukan mulai lobi secara personal hingga langit. Mungkin hanya Tuhan yang bisa menggerakkan hati mereka," ujarnya.


Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman berpendapat, kondisi kebuntuan yang dihadapi dalam proses legislasi RUU PPRT memperlihatkan adanya political ignorance (ketidaktahuan politik) yang disebabkan adanya fear for equality dari kelompok yang menolak.


Bila RUU PPRT menjadi undang-undang, jelas Airlangga, kelompok yang menolak itu khawatir tidak lagi berada posisi yang lebih tinggi daripada PRT. Padahal tambah dia, setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum.


Menurut Airlangga, meski terbilang moderat,  aturan pada RUU PPRT ini penting untuk dituntaskan menjadi undang-undang agar kita bisa melangkah ke depan.


Karena, jelas Airlangga, semua kelas masyarakat seperti pemberi kerja, penyalur PRT dan para PRT dilindungi dalam RUU PPRT.


Airlangga menegaskan tidak ada alasan lain kecuali ketidaktahuan politik pimpinan DPR yang menyebabkan tersendatnya pembahasan RUU PPRT.


Airlangga menyarankan untuk menghadapi ketidaktahuan politik pimpinan DPR harus didorong dengan kerja sama dan tekanan politik dari masyarakat sipil.


Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Rahmat Syafaat berpendapat kebuntuan pada proses pembahasan RUU PPRT karena 70% anggota dewan itu dari kalangan pengusaha.


"Terhadap buruh di industri saja dipolitisasi betul. Padahal undang-undang sudah menetapkan upah buruh itu adalah upah layak," ujarnya.


Jadi, tambah Rahmat, meski ada undang-undang terkait pekerja atau buruh, tetapi pelaksanaannya masih amburadul.


Menurut Rahmat, bila kita ingin mewujudkan kesetaraan dalam hubungan antara pekerja dan pemberi kerja harus diperjuangkan dengan gerakan-gerakan yang kuat di masyarakat. (Red) 

Bagikan:

Komentar