Nurhadi, Anggota Komisi IX DPR RI. (Dok/Istimewa). |
Lensajatim.id, Jakarta- Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang saat ini sedang disusun oleh Pemerintah diingatkan untuk mempertimbangkan dampak sosial dari RPMK tersebut.
Hal itu disampaikan anggota Komisi IX DPR Nurhadi dalam forum legislasi bertajuk Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau, di Komplek Parlemen. Pertimbangan matang harus dilakukan mengingat kondisi ekonomi nasional saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.
"Jangan sampai, kalau RPMK ini tidak dikoreksi atau dievaluasi, maka akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri," kata Nurhadi melalui keterangan tertulis, Rabu, 18 September 2024.
Politikus Partai NasDem itu menyampaikan sejumlah dampak jika RPMK tak mempertimbangkan industri hasil tembakau (IHT). Salah satunya, berpotensi pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Selain akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri, ini tentu juga akan berpotensi sekitar 6 juta pekerja tereduksi dan menambah rentetan jumlah PHK," ungkap dia.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Yahya Zaini, menegaskan persoalan IHT tidak bicara mengenai industri besar. Tetapi juga bersinggungan dengan petani tembakau, buruh pabrik, tukang asongan, hingga pedang kaki lima yang mengantungkan pendapatannya di IHT.
"Jadi, yang kita perhatikan dan kita prihatinkan mereka yang kecil menengah ke bawah yang jumlahnya dari segi pekerjaan 5-6 juta orang," tegasnya.
Yahya berpandangan ada beberapa opsi yang harus dilakukan untuk meminimalisir sikap pemerintah terhadap IHT sebelum RPMK diterbitkan. Salah satunya membangun opini publik agar terjadi perimbangan opini di masyarakat terhadap IHT baik dari sisi ekonomi, perkebunan, hingga cukainya.
"Saya menolak RPMK, jika isinya akan mematikan industri hasil tembakau dan menyengsarakan nasib jutaan pekerja dan petani tembakau yang hidupnya semakin berat," ujar Yahya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Abidin Fikri mengaku kaget dengan langkah Kementerian Kesehatan terhadap RPMK. Pasalnya, Komisi IX DPR RI memberikan beberapa catatan saat pembahasan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Salah satu catatanya yaitu meminta Kementerian Kesehatan mengkosultasikan pembuatan aturan teknis. Hal itu dinilai diperlukan untuk menghindari polemik.
"Jangan sampai rumusan di PP-nya membuat kegaduhan baru. Karena bagi kami bukan soal perokok dan tidak merokok tetapi ekosistem ekonomi dari Indonesia," kata Abidi.
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI, Sudarto AS, menilai regulasi pengendalian IHT menjadi tekanan luar biasa. Sebab, dapat membahayakan sejumlah pihak dari hulu hingga hilir.
"Regulasi pengendalian ini sangat membahayakan berbagai macam pihak-pihak yang terkait dari hulu sampai hilir, bukan hanya buruh pabrik tapi para petani akan berdampak. Sebab, sejak 2015 anggota kami sudah berkurang atau terkena PHK hingga 67 ribu lebih," kata Sudarto.
Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi, menambahkan kalau pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan RPMK. Padahal, aturan iklan luar ruang terkait produk tembakau juga telah memberikan dampak bagi para pelaku industri media luar griya. (MetroTV)
Komentar