Taufik Monyong saat aksi simulasi coblos kotak kosong. (Dok/Istimewa). |
Perihal gugatan Taufik Monyong disampaikan oleh Edward Dewaruci, S.H., M.H. dan Andika Simamora, S.H., yang bertindak sebagai kuasa hukumnya. Menurutnya, Taufik mendaftarkan judicial review bersama Doni Istyanto Mahdi pada 13 September 2024, pukul 14:03 WIB dan sudah menerima tanda terima pemohon bernomor l : 121/PAN.ONLINE/2024.
Dalam gugatannya, mereka memohon agar MK melakukan judicial review terhadap Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Taufik Monyong mengatakan, pihaknya berharap judicial review tersebut mengoreksi pemenangan calon tunggal, yang dihitung dari 50 persen+1 berdasarkan surat suara sah.
"Seharusnya hitungan itu berdasarkan jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap). Bukan berdasarkan surat suara sah 50 persen+1. Sehingga bagi pemilih yang tidak datang ke TPS, tidak mencoblos, kemudian golput, itu dianggap memilih kotak kosong," jelasnya lewat keterangan tertulis yang diterima redaksi, Selasa (17/09/2024).
Lebih lanjut Taufik menambahkan, kotak kosong tidak ada jadwal kampanye, siapa yang mau dikampanyekan, tidak ada saksi di TPS, karenanya rentan untuk kalah dalam kontestasi. Kalau hitungan kemenangan berdasarkan surat suara sah.
Taufik kembali mengatakan, upaya gugatan judicial review ke MK, merupakan gerakan moral menjaga marwah demokrasi, ditengah kondisi demokrasi di Surabaya dan sejumlah daerah yang tidak sedang baik-baik saja.
"Ketika hanya ada calon tunggal yang melawan kotak kosong ini muncul, ini merupakan protet bahwa demokrasi di Surabaya tidak sedang baik-baik saja. Partai politik tidak punya kader untuk menjadi pemimpin yang kredibel dan punya kapabilitas baik. Atau memang masyarakat Surabaya sudah apatis atau bagaimana," terangnya.
Lebih lanjut Taufik mengatakan, calon tunggal melawan kotak kosong sama saja dengan upaya penyeragaman, bukan lagi pesta demokrasi.
"Partai politik yang diberikan kesempatan oleh undang undang untuk berkontestasi dalam pilkada tidak dimanfaatkan secara maksimal, mengajukan kader-kadernya untuk berkontestasi. Sedangkan calon independent dipersulit," tegasnya.
Sementara itu Edward Dewaruci kuasa hukum penggugat menjelaskan, ketentuan Pasal 54D ayat (1) UU Pilkada menggambarkan betapa mudahnya menjadi Kepala Daerah karena satu pasangan calon akan melawan kotak kosong yang dalam perhitungannya mudah sekali dikalahkan. Karena target kemenangannya hanya mengusahakan lebih dari 50% suara sah.
"Pasangan calon itu tidak perlu bersusah payah mencari suara dari seluruh pemilih dari daftar pemilih tetap (DPT), karena apabila banyak pemilih yang tidak hadir di TPS akan sangat memudahkan kemenangannya," imbuhnya.
Pasal lain yang digugat yakni Pasal 54D Ayat (2) yang menyebutkan : Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya.
"Padahal sudah jelas sekali mereka tidak terpilih dan artinya mereka tidak dikehendaki rakyat, karena itu pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan dilarang mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya," ujar Teted panggilan akrab Edwad Dewaruci. (Tim)
Komentar