|
Menu Close Menu

Kecemasan Lita dan Penguatan 4 Pilar Kebangsaan

Senin, 07 Oktober 2024 | 20.18 WIB



Oleh Moch Eksan


Lensajatim.id, Opini- Dalam Group Pengurus DPW Partai NasDem Jawa Timur, Hj Lita Machfud Arifin mengeshare video. Isinya, anak-anak sekolah yang tak bisa menyebut singkatan dari MPR (Majlis Permusyawaratan Rakyat).


Barangtentu, ini sebuah ironi yang sangat merisaukan dan mencemaskan Ketua DPW NasDem Jawa Timur ini. Bagaimana MPR sebagai lembaga tinggi negara yang merupakan gabungan dari anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), banyak anak sekolah yang tak mengerti singkatannya. Apalagi pada tugas dan fungsinya dalam struktur ketatanegaraan kita.


Sebagai anggota DPR/MPR, cukup beralasan, bila Lita risau dan cemas melihat kenyataan rendahnya literasi politik generasi Z yang lebih populer dengan sebutan Genzie. Sementara, mereka nanti yang menjadi tumpuan untuk melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa dan generasi setelahnya dalam membangun NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).


Rendahnya melek politik di atas, adalah akibat dari sebab Pendidikan Pancasila dan  Kewarganegaraan di semua jenjang yang kurang berhasil, sekaligus sosialisasi 4 pilar kebangsaan yang kurang maksimal.


Praktis, para guru atau  dosen PPKn dan anggota MPR yang paling bertanggungjawab atas buruknya literasi politik kalangan pelajar dan mahasiswa ini. Penguatan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI mesti dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.


Lita mengusulkan sosialisasi 4 pilar kebangsaan sampai ke level pendidikan dasar. Segala ikhtiar untuk penguatan ideologi, konstitusi, spirit dan bentuk negara harus tetap dikemas dengan menyenangkan. Dilakukan dengan pola bermain di out door misalnya.


Jadi, penguatan sosialisasi 4 pilar kebangsaan bukan mengembalikan atmosfer program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) rezim Orde Baru, namun dengan kemasan dan sajian program yang lebih kontekstual dan relevan dengan kondisi Genzie.


David Bourchier, dalam bukunya, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the State Family, menggambarkan pola dukung Penataran P4, mulai dari 25 jam, 45 jam, 100 jam sampai 120 jam. Pola ini dilakukan sejak 1979 sampai dengan 1998.


Pertama, Penataran P4 pola dukung 25 jam diikuti oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, Karang Taruna, PKK dan masyarakat umum.


Kedua, Penataran P4 pola dukung 45 jam diikuti oleh pada mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.


Ketiga, Penataran P4 pola dukung 100 jam diikuti oleh para rektor, pejabat di lingkungan pemerintah di daerah tingkat I dan daerah tingkat II.


Keempat, Penataran P4 pola dukung 120 jam yang diikuti oleh para pejabat tinggi, perwira tinggi di TNI/Polri, para anggota DPR/MPR, dan lain sebagainya.


Pola dukung di atas, nyaris mustahil dilaksanakan sekarang, apalagi di era ideologi digital. Banyak yang tak tahan duduk dan cenderung memilih pesan-pesan singkat di media sosial.


Disinilah relevansi gagasan Lita bahwa penguatan sosialisasi 4 pilar kebangsaan diselenggarakan dengan pola main di out door. Acara simulasi, lomba pidato atau debat, pembuatan konten, pemilihan duta Pancasila dan semacamnya bisa dikemas dengan pola bermain tersebut.


Akhirnya, saya kutipkan pernyataan Bung Karno, "Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah".


*Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "9 Asketisme Politik Kontribusi Surya Paloh Dalam Merestorasi Politik di Indonesia".

Bagikan:

Komentar