Presiden RI, Prabowo Subianto. (Dok/Istimewa). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, opini- Potongan video endorsement Presiden Prabowo Subianto bagi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah, Ahmad Lutfie dan Taj Yasin, telah melukai perasaan publik yang ingin presiden tak cawe-cawe dalam Pilkada Serentak, Rabu, 27 November 2024 mendatang.
Probowo diharapkan netral, dan tak turun gelanggang untuk memenangkan pasangan calon kepala daerah tertentu, agar kompetisi berjalan dengan free and fair. Rakyat sudah cukup cerdas untuk memilih pemimpin daerah yang terbaik.
Dalam bukunya, "Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045, Indonesia Menjadi Negara Maju dan Makmur", Prabowo memberi catatan kritis terhadap praktek demokrasi. Bahwasannya, demokrasi Indonesia dikuasai pemodal. Mereka yang punya uang membeli pengaruh untuk menguasai politik Indonesia.
Memang, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik do dunia. Namun dengan politik uang, penyelenggaraan negara penuh dengan kebocoran dan penyimpangan. Para oligarki serakah mengendalikan negara untuk keuntungan pribadi dan mengesampingkan kepentingan rakyat.
Prabowo mengutip pernyataan Bung Karno, "Demokrasi mereka bukanlah demokrasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu demokrasi burjuis belaka -suatu burgerlijke democratie yang untuk kaum burjuis dan menguntungkan kaum burjuis belaka.
Benar rakyat 'boleh ikut memerintah', tetapi kaum burjuis lebih kaya dari rakyat jelata, mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal pilihan kaum pemilih, mempengaruhi semua jalannya politik".
Dengan jlentreh, Prabowo mengkritik praktek demokrasi NPWP (nomor Piro wani Piro) yang melahirkan banyak pemimpin korup. Bahkan dengan terang benderang, ia mengatakan cukup dengan Rp 11,8 triliun , seorang bisa membeli pengaruh untuk membiaya kampanye kepala desa, bupati/walikota, gubernur sampai presiden.
Tampak Prabowo sangat gusar. Hal ini terasa dari penggunaan diksi kata kritikal yang keras nan tajam. Tanpa tedeng aling-aling, ia menolak praktek demokrasi burjuis, dan menginginkan transformasi demokrasi pada demokrasi Pancasila yang berakar pada nilai dan budaya bangsa. Bukan demokrasi ala liberalisme dan komunisme.
Sayangnya, semangat transformatif Prabowo di atas belum dibarengi dengan usaha transformatif pula. Sehingga penggunaan pengaruh presiden dalam pembentukan opini pemilih pun dilakukan. Padahal, ia sendiri mengkritik demokrasi burjuis seperti pernyataan Bung Karno di atas.
Apalagi, Prabowo pada sebuah acara di PAN, telah menegaskan tekad untuk tak ikut cawe-cawe urusan Pilkada. Urusan siapa yang menang katanya, terserah pada yang yunior-yunior. Siapapun baginya tak masalah.
Perbedaan antara pernyataan dan kenyataan di atas adalah the president paradox yang membahayakan perjalanan demokrasi daerah. Betapa sebagai ketua umum Partai Gerindra punya target pemenangan. Disamping, sebagai kepala pemerintah juga ingin kepala daerah yang terpilih satu visi dengan presiden.
Namun secara etis, Prabowo sebagai kepala negara mesti mengayomi semua calon. Sebab, presiden adalah seperti "bapak' dan calon-calon itu laksana "anak-anaknya". Jadi, endorsement itu mengusik rasa keadilan masyarakat. Khususnya para calon dan pendukungnya yang tak sehaluan dengan presiden.
Membaca reaksi publik yang negatif terhadap endorsement Prabowo, kasus Lutfie-Yasin cukup jadi pembelajaran agar tidak mengoyak harapan rakyat terhadap keberhasilan presiden mewujudkan Asta Cita. Termasuk dalam membangun demokrasi kerakyatan yang sejati.
Barangkali Prabowo lupa bahwa presiden sebagai pejabat negara dilarang berkampanye, sebagaimana ketentuan Pasal 71 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Atau boleh jadi, Prabowo sudah tahu tapi sengaja untuk menguji sikap kritisme warga negara terhadap segala bentuk potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) untuk meraih kemenangan.
Yang pasti, endorsement itu telah menimbulkan kontroversi yang meluas di tengah-tengah masyarakat. Sedikit banyak, kontroversi Prabowo memupus tuntutan netralitas aparatur negara yang dipersoalkan oleh banyak pihak.
Sebagai pembelajar para tokoh besar yang baik, seperti dalam bukunya, "Kepemimpinan Militer, Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto", Prabowo pasti menyadari kebenaran pernyataan Presiden John F Kennedy berikut ini:
"My loyality to my party ends when my loyality to my country begins (loyalitasku pada partaiku berakhir manakala loyalitasku pada negaraku dimulai)".
Alhasil, endorsement Lutfie-Yasin harus menjadi kasus yang pertama dan terakhir. Kasus semisal tak boleh terjadi kembali. Apalagi, calon gubernur Jawa Tengah dari kedua belah pihak adalah mantan perwira tinggi TNI/Polri yang notabene para yunior Prabowo di militer.
Andika Perkasa adalah mantan Panglima TNI, dan Lutfie adalah mantan Kapolda Jawa Tengah. Memang, Pilgub Jateng menjadi medan pertempuran para bintang yang berbeda haluan pada Pilpres 2024 lalu. Andika adalah tim kampanye Ganjar-Mahfud, sementara Lutfie merupakan tim pemenangan Prabowo-Gibran.
Dalam konteks ini, kenegarawanan Prabowo diuji, apakah dalam pemenangan calon kepala daerah lebih menempatkan diri sebagai Ketua Umum Partai Gerindra ataukah sebagai Presiden Republik Indonesia? Pilihan Prabowo sangat menentukan penilaian publik tentang derajat kenegarawanannya sebagai orang nomor satu di Nusantara.
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "Kerikil Dibalik Sepatu Anies".
Komentar