Oleh Achmad Sudiyono
Lensajatim.id, Opini- Menteri Dalam Negeri, Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian mensinyalir bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), merupakan sumber konflik Pilkada, sebab banyak orang titipan yang menjadi komisioner. Menurut mantan Kapolri ini, 50 sampai dengan 60 persen, permasalahan Pilkada lantaran penyelenggara pemilu yang tidak netral.
Banyak partai dan atau calon sebelum Pilkada digelar, telah menyusupkan orang-orangnya menjadi penyelenggara pemilu. Proses seleksi penyelenggara pemilu ini bak pemilu itu sendiri yang diyakini sangat menentukan dalam pemenangan paslon.
Mereka didesain menjadi mesin pemenangan yang sedari awal punya mens rea untuk bertindak curang. Sebab itu, integritas pemilu belakangan menjadi problem terbesar yang bak bola salju yang menggelinding kian membesar dari pemilu ke pemilu.
Tapi rupanya, gagasan integritas pemilu di atas tak lebih sekadar gincu dari lisan penyelenggara yang hipokritistik yang koar-koar tentang netralitas penyelenggara. Faktanya, mereka bekerja untuk pemenangan paslon yang diperjuangkannya.
Prof Ramlan Surbakti, guru besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya yang pernah menjadi Wakil Ketua KPU pada periode awal, telah menggulirkan urgensi integritas pemilu, agar hasil pemilu bisa diterima dan dipercaya oleh rakyat.
Tak lacur, di berbagai tempat di seluruh pelosok Tanah Air, banyak ditemukan kasus penyelenggara pemilu yang berpihak, demi memperoleh uang atau kekuasaan. Laporan Disk Pilkada mengkonfirmasi perihal tersebut sebagai sumbu ledak yang bisa membakar amarah rakyat.
Nampaknya, kita harus siap kecewa sekarang ini. Banyak pengawas pemilu yang seperti musang berbulu domba. Proses penegakkan Hukum pemilu terasa tumpul ke kawan dan tajam ke lawan. Proses yang pandang bulu ini, berpotensi mengacaukan Pilkada Serentak 2024.
Sayangnya, Bawaslu sendiri kurang sigap dan tangkas dalam menegakkan supremasi etik, administrasi dan pidana pemilu. Padahal, pemerintah telah mewarning untuk bertindak tegas terhadap penyelenggara pemilu dan atau aparatur negara yang tidak netral.
Suhu politik yang kian memanas di Jember misalnya, dipicu oleh skenario pemilu curang oleh pengawas TPS. Mereka yang punya tupoksi untuk mencegah terjadinya kecurangan, malah didrive oleh invisible hand (tangan tak tampak) untuk berbuat securang-curangnya demi reguest pemenangan dari kelompok politik yang bertanding.
Pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang terbaik dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan, mengharamkan strategi dan taktik pemenangan yang menghalalkan segala cara. Machiavellisme adalah praktek politik yang paling terkutuk di negara demokrasi manapun.
Tentu, kasus Sumberbaru tak ubahnya seperti gunung es yang kandungan bawah dan sekitarnya lebih besar dan membahayakan kualitas demokrasi. Dimana praktek culas dan jahat ini pasti bakal menodai Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan).
Berdasarkan kajian dan penelitian Wandas Foundatien, saya yakin, bila Pilbup Jember ini berlangsung luber dan jurdil, tak ada praktek culas dan jahat, maka kota pendidikan terbesar ketiga di Jawa Timur, akan memiliki bupati dan wakil bupati yang baru.
Yaitu: kepala daerah yang mengerti dan menghayati budaya pendhalungan sebagai kata kerja bukan kata benda dari pemajuan kebudayaan dan ketahanan sosial.
Juga, pemimpin daerah yang mengerti dan memahami betul. Bahwasannya pemerintah daerah merupakan agent of social engineering (pelaku rekayasa sosial) untuk menciptakan demokrasi warga yang berkeadaban dengan penyelenggara pemilu yang netral dan profesional.
Achmad Sudiyono adalah Bupati LIRA Jember dan Pembina Wandas Foundatien Jember.
Komentar