|
Menu Close Menu

Sengkurat Judol di Awal Prabowo Berkuasa

Sabtu, 02 November 2024 | 22.35 WIB

 

Ilustrasi judi online. (Dok/CNBC Indonesia). 

Oleh Moch Eksan 


Lensajatim.id, Opini-Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa judi online (Judol) merupakan tantangan berat bangsa yang membutuhkan penegakan hukum yang tegas tanpa ragu-ragu. Pernyataan ini ternyata benar tatkala  Polda Metro Jaya menangkap 11 tersangka judol, 10 di antaranya pegawai dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Menkomdigi).


Yang mengerikan, di antara para pelaku judol ada yang menjadi staf ahli yang setara dengan pejabat eselon I. Para pelaku menyalahgunakan kewenangan untuk memblokir situs judol dengan membina sebagian untuk mendapatkan keuntungan finansial. Dari 5.000 situs misalnya, yang 1.000 situs dibiarkan dengan imbalan 8,5 juta per situs.


Menkomdigi, Meutya Hafid menyampaikan bahwa selama 10 hari, kementeriannya telah memblokir 187 ribu situs judol. Sementara, situs judol baru yang muncul setiap hari antara 15-20 ribu. Jadi, situs judol seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu.


Judol itu sejatinya merupakan cyber crime (kejahatan maya) yang telah menjadi industri hiburan dengan omset Rp 900 triliun per tahun. Ini berarti setiap hari uang yang melantai pada halaman situs itu tak kurang dari 1,59 triliun.


Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat kenaikan fantastik jumlah uang yang berputar di judol dari tahun ke tahun. Pada tahun lalu tercatat Rp 327 triliun, dan tahun sekarang diperkirakan mencapai Rp 900 triliun.


Jujur harus diakui, Indonesia saat ini darurat judol. Mengingat, jumlah pelaku judol sudah tembus 4 juta orang. Pelakunya tak mengenal usia. Ada anak-anak di bawah umur. Mereka dari kelas menengah kebawah dengan modal ratusan ribu, dan dari kelas menengah keatas dengan deposit miliaran rupiah.


Selama ini, pemerintah  seperti lame duck (bebek lumpuh) yang tak berdaya menghadapi serangan situs judol. Pengusaha judol mengendalikan bisnis dan usahanya dari luar negeri. Uang orang Indonesia mengalir ke negara-negara lain yang melegalkan judi, seperti Thailand, Filipina dan Kamboja.


Sementara pemerintah sendiri tak memperoleh keuntungan apa pun, malah harus menangani imbas sosial dan finansial dari judol tersebut. Seperti peningkatan angka kriminalitas dan kebangkrutan ekonomi keluarga serta kehilangan potensi pendapatan negara.


Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menegaskan, prioritas Polri adalah memberantas judol sebagai pelaksanaan Asta Cita Presiden Prabowo. Tekad ini mesti dibarengi juga dengan peningkatan patroli cyber. Dimana kasus judol relatif rendah, 220 kasus, dibandingkan dengan kasus kejahatan cyber lain. Kasus penipuan online 14.495; ancaman kekerasan 8.614; pencemaran nama baik 6.556; pornografi 952; berita bohong 778; manipulasi data 597; penghasutan 499; prostitusi 237 dan lain sebagainya.


Data di atas menunjukkan bahwa antara tekad dan usaha belum berimbang. Pekerjaan rumah (PR) Kapolri sangat banyak untuk mencapai target pemberantasan judol di era Prabowo ini. Apalagi, soal maraknya judol tak hanya berhubungan dengan penegakan hukum, tetapi lebih dari itu perubahan mentalitas masyarakat yang suka jalan pintas.


Judi bagi sebagian orang merupakan pekerjaan. Bagi sebagaian orang hobi. Dan bagi sebagian orang lainnya adalah candu. Banyak orang yang mengalami kesulitan lepas dari dera judol, padahal tak pernah beruntung dan berulang kali kalah. Namun, yang bersangkutan tak kuat melawan dorongan jiwa untuk mengadu keberuntungan pada slot, kasino dan foker.


Mereka yang kecanduan judi itu dalam psikologi sosial disebut dengan pathological gambling, compulsive gambling atau gambling disorder, merupakan gangguan kontrol impuls. Efek dari patologi sosial ini menimbulkan penyalahgunaan narkoba, stres, depresi, cemas dan bipolar.


Maka dari itu, pemerintah tak cukup dengan pembentukan satgas antijudi, atau blokir situs judol, atau penegakan hukum. Akan tetapi, Prabowo mesti melakukan gerakan nasional antijudi layaknya lawan bahaya terorisme dan narkoba. Pola pendekatannya juga harus berubah dari penindakan pada pembinaan dan pemberdayaan para korban judol tersebut.


Sebab, bila pendekatan penindakan dijadikan ujung tombak, pasti proses pemenjaraan tak bisa dielakkan. Lembaga Pemasyarakatan (LP) tak dapat menampung pelaku judol yang sudah jutaan orang.


Akhirnya, semua harus menyadari bahwa usia prilaku judi itu seusia peradaban manusia. Tak ada satu negara atau peradaban manusia dalam sepanjang sejarah yang dapat memberantas judi sampai ke akar-akarnya. Barangkali yang bisa dilakukan adalah mengurangi bukan menghilangkan sama sekali. Bukan kah begitu Bapak Presiden!!!


Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "Kerikil Dibalik Sepatu Anies".

Bagikan:

Komentar