Prabowo Subianto, Presiden RI. (Dok/Istimewa). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Soeharto dan Satryo Soemantri Brodjonegoro, dua nama ini tak ada kaitan. Namun bagi Presiden Prabowo keduanya punya hubungan. Soeharto adalah mertua Prabowo yang memberi ketauladanan dalam memimpin Indonesia. Dan Satryo adalah Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek) di kabinet Merah Putih Prabowo.
Pada sebuah malam pada tahun 1984, Prabowo makan malam bersama Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Sang mertua perempuannya bertanya kepada Pak Harto. Apa benar akan dilakukan pergantian Kasad? Benar. Sudah waktunya terjadi pergantian. Jenderal Poniman sudah habis masa jabatannya.
Bu Tien menimpali jawaban Pak Harto dengan mengusulkan nama calon Kasad tersebut. "Itu loh Pak sing apik (yang bagus), Pangdam Bali, Pak, Dading. Tinggi, gagah, ganteng, Pak. Cocok itu, sebaiknya ia yang jadi Kasad, Pak", usul Ibunya Titiek Soeharto.
Pak Harto diam dan tak memberi komentar apapun terhadap usulan Bu Tien. Sang mertua laki Prabowo matanya melirik kepadanya sambil tersenyum kecil menunjukkan ketidaksukaan dan ketidaksetujuan atas saran Bu Tien yang notabene Ibu Negara.
Malam berikutnya, Prabowo kembali makan malam bersama dengan keluarga Cendana. Bu Tien bertanya kepada Pak Harto, apakah Kasad pasca Jenderal Poniman sudah diputuskan jenderal penggantinya?. Pak Harto menjawab dengan singkat pertanyaan Bu Tien, "Masih digodok".
Sepakan kemudian, Prabowo ikut jamuan makan malam bersama mertuanya kembali. Waktu itu, pada pagi harinya, banyak koran sudah ramai memberitakan penunjukkan Jenderal Rudini sebagai Kasad baru. Bu Tien rupanya belum tahu perihal ini.
Bu Tien mengawali pembicaraan di meja makan itu dengan bertanya, "Jadi Dading Pak ya?" Pak Harto menjawab Rudini. Dengan nada kesal dan dongkol, Bu Tien mengatakan "Bapak itu, nggak mau dengar saran Ibu".
Pak Harto menjawab dengan tenang dan kalem, memilih pemimpin itu bukan karena tinggi, gagah dan gantengnya tapi banyak hal yang harus dipertimbangkan. Jenderal Rudini tentu lebih tepat daripada Jenderal Dading Kalbuadi. Letjen Dading ini merupakan senior Prabowo di Baret Merah yang terlibat dalam Operasi Seroja di Timur Leste.
Kisah makan malam Presiden Soeharto tersebut memberi pelajaran sangat berharga. Bahwasannya seorang pemimpin itu harus bisa membedakan dengan jelas dan tegas, mana wilayah publik dan mana wilayah domistik. Pak Harto tak mau Ibu negara sekalipun ikut campur terlalu dalam urusan promosi dan mutasi pejabat yang merupakan ranah internal birokrasi.
Sekalipun, Pak Harto sendiri tak menutup diri dari saran dan masukan dari siapapun. Termasuk Ibu Tien sebagai istri. Keputusan akhir tetaplah di tangan Presiden Soeharto yang memiliki hak prerogatif sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Pak Harto memutuskan penempatan pejabat dengan independen, netral dan profesional berdasarkan sistem meritokrasi. Apalagi jabatan setingkat Kasad yang secara hirarkis merupakan orang nomor dua dalam militer.
Sementara itu, kasus demo di Kemedikti Saintek akibat sikap arogan dan sewenang-wenang Menteri Satryo yang dipicu oleh terlalu masuknya sang istri dalam urusan meja dan WIFI yang merupakan urusan rumah tangga kementerian. Urusan ini yang diyakini oleh pengunjuk rasa sebagai buntut pemecatan atas Neni Herlina melalui Whatsapp.
Apalagi rumor yang berkembang sangat dramatis. Dimana pegawai korban PHK tersebut terlebih dulu mengalami bullying dengan kata sarkasme dan sampai tindak kekerasan fisik. Demo ratusan orang pegawai kementerian merupakan aksi solidaritas serta perlawanan terhadap arogansi menteri beserta keluarganya.
Menteri Satryo membantah berbagai tudingan di atas. Ia mengatakan bahwa demo itu terkait dengan mutasi para pejabat di lingkungan Kemendikti Saintek yang merupakan nomenklatur kementerian baru dalam Kabinet Merah Putih.
Rupanya, klarifikasi Menteri Satryo tak cukup meredakan aksi protes para pegawai di bawah kementeriannya. Seperti ia gagal mengkonsolidasikan agenda restrukturisasi sebagai pemekaran Kemendikbudikti yang dipecah menjadi tiga kementerian di era Presiden Prabowo.
Apalagi, kegaduhan di Kementerian Satryo ini menjelang 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran yang dinilai positif oleh publik. Hasil Survei Litbang Kompas menyebutkan bahwa 80,9 persen publik merasa puas terhadap kinerja pemerintah, dan yang tak puas hanya 19,1 persen saja.
Berdasarkan catatan hasil survei 100 hari Presiden Prabowo dengan presiden-presiden sebelumnya. Tingkat kepuasan publik Prabowo tertinggi dibandingkan dengan Presiden Jokowi pada 2015 (65,1 persen), dan Presiden SBY pada 2004 (66,6 persen).
Dengan demikian, Menteri Satryo ini menjadi "beban politik" dari Kabinet Merah Putih yang mendapatkan momentum kepercayaan publik yang luas. Padahal, ia berasal dari keluarga pejabat tinggi yang acapkali dipercaya sebagai pembantu presiden sejak zaman Soeharto sampai Prabowo.
Soemantri Brodjonegoro, ayah Satryo adalah Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (1967-1973) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (28 Maret-18 Desember 1973), di awal pemerintahan Presiden Soeharto.
Bambang Brodjonegoro, adik Satryo adalah Menteri Keuangan (2013-2014), di akhir pemerintahan SBY. Menteri Keuangan (2014-2016), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Bappenas) (2016-2019) pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Menteri Riset dan Tehnologi Indonesia (2019-2021) pada periode kedua pemerintahan Jokowi pula.
Jadi, keluarga Brodjonegoro merupakan keluarga bangsawan Jawa yang terdidik dan punya link up politik dengan pusaran kekuasan Indonesia. Mereka keluarga berpengaruh pada kekuasaan tanpa terlibat dalam struktur partai politik apapun. Sebab, ia adalah keluarga teknokrat politisi independen yang mengendalikan banyak kementerian.
Oleh karena itu, polah Menteri Satryo bagi Prabowo seperti pisau bermata dua. Satu sisi, trah Brodjonegoro ini menjadi beban politik yang berpotensi merusak kinerja dan citra pemerintahan Prabowo. Tetapi, sisi lain, trah Brojonegoro ini pula memiliki saham politik kekuasan pada setiap rezim yang berhasil disembunyikan dari hadapan publik.
Akibatnya, Presiden Prabowo dihadapkan pada pilihan sulit antara mempertahankan atau mengganti dengan menteri baru. Prabowo pasti mempertimbangkan dengan hati-hati dan teliti tauladan Soeharto dan polah Satryo. Tokoh pertama piawai memisahkan urusan publik dan domistik. Sedangkan, tokoh kedua kurang bisa menekan intervensi istri sebagai ketua dharma wanita dalam urusan rumah tangga kementerian.
Barangtentu, Prabowo diharapkan publik tetap setia pada jalan nasionalisme dan patriotisme yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan keluarga. Prabowo telah terbukti lebih membela rakyat dan mendukung reformasi daripada membela keluarga dan mempertahankan rezim berkuasa.
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute
Komentar