Ilustrasi. (Dok/Sindonews.com). |
Oleh Moch Eksan
Lensajatim.id, Opini- Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan angin segar bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Penghapusan presidential threshold (PT) membuka peluang partai peserta pemilu untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden sendiri. Sehingga, capres yang tampil sebagai alternatif kepemimpinan nasional, pasti akan lebih banyak.
Banyaknya capres-cawapres membuka peluang putra putri terbaik bangsa untuk menawarkan diri pada rakyat sebagai pemimpin nasional. Otomatis rakyat punya menu pilihan figur capres-cawapres yang lebih beragam. Polarisasi politik di tingkat elit dan rakyat akar rumput bisa dihindari sedini mungkin.
Amar Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 akan memerdekakan partai dalam mengambil keputusan penting dan strategis tanpa merasa disandera oleh kasus atau kepentingan rezim penguasa. Partai lebih otonom dalam mencalonkan capres-cawapres sendiri.
Putusan MK ini mendorong partai meningkatkan kaderisasi dan pendidikan politik dalam rekrutmen kepemimpinan nasional dari internal partai. Fungsi ini tidak bisa dijalankan secara maksimal lantaran tidak atau kurang memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang tinggi.
Selama ini, ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mematok 20 persen jumlah kursi DPR RI atau 25 persen suara hasil pemilihan legislatif, telah memupus harapan tampilnya capres-cawapres dari internal partai.
Apalagi, tugas pokok partai adalah menyiapkan calon pemimpin. Namun tugas ini tak bisa dilaksanakan karena kaderisasi internal yang tak berjalan dengan baik. Akibatnya, partai menjadi "kendaraan" bagi kader partai lain. Sementara, kader sendiri justru tak dimunculkan demi dan atas nama PT.
Terus terang, PT menjadi mesin sistem untuk mengeliminasi calon pemimpin dari partai kecil dan menengah. Betapapun calon pemimpin itu cemerlang dan gilang gemilang di mata rakyat. Sebab, ketentuan ini hanya menguntungkan partai besar di parlemen.
Setelah putusan MK ini, 8 partai politik di parlemen bisa mengajukan capres sendiri tanpa harus bergabung dengan partai politik lain. PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PKS, PAN dan Demokrat sudah bisa berancang-ancang untuk menominasikan kader internal sendiri.
Berkah nyata dari keputusan MK ini, tak bakal ada lagi penjegalan calon dengan memainkan PT. Beberapa kasus yang terjadi dalam drama-drama politik yang melankolis dan antogonis pada Pilpres 2004-2024, seperti berikut:
Ketua PKB Abdul Muhaimin Iskandar tak perlu menurunkan target ambisinya dengan menjadi wakil presiden karena semata untuk memenuhi PT.
Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bisa maju sebagai calon presiden tanpa pecah kongsi dari koalisi perubahan yang mendukung Anies Rasyid Baswedan dan bergabung dengan koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Begitu pula dengan PKS, tak perlu mengalah untuk mencalonkan kadernya sendiri sebagai capres atau cawapres yang diinginkan semenjak 2009. Saat Hidayat Nur Wahid, kader terbaiknya mau dicalonkan sebagai cawapres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Semua partai peserta pemilu tanpa terkecuali, bisa memajukan capres sendiri semisal PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfudz MD, dan layaknya Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Golkar bisa mengulang masa-masa indah memperjuangkan capres sendiri sewaktu pada Pilpres 2004 mengusung Wiranto-Shalahuddin Wahid, dan 2009 mengusung Jusuf Kalla-Wiranto. Bukan layaknya urung mencapreskan Aburizal Bakrie dan terpaksa mendukung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa lantaran hasil survei rendah dan tak dapat sokongan dari partai lain.
Atau kandas mengusung Airlangga Hartanto sebagai capres atau cawapres dan mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka karena hasil survey rendah dan gagal membangun koalisi.
Nampaknya, Pilpres 2029 bakal lebih sehat dan jauh dari jegal-menjegal, semua partai politik peserta pemilu punya kesempatan yang sama maju sebagai capres atau cawapres. Pemberian kesempatan ini merupakan esensi demokrasi yang mengharamkan perampasan hak politik warga negara, hatta dengan alasan konsolidasi demokrasi dan stabilitas politik nasional.
Jadi, MK telah kembali ke jalan yang benar sebagai the gardian of democration. Bukan justru seperti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang yang membelokkan MK sebagai the gardian of rezime. MK didesain sebagai penjaga demokrasi yang melindungi hak politik warga negara dan demokrasi.
Kini, rakyat patut percaya pada MK yang telah memekarkan kembali bunga-bunga demokrasi di taman Bumi Pertiwi politik Indonesia. Mereka para negerawan sejati yang otonom dan hanya mengabdikan diri setinggi-tingginya peningkatan derajat demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat.
Pasal 1 UUD 1945, menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat. Dimana kedaulatan itu dilaksanakan berdasarkan UU. Sebab, Indonesia negara berdasarkan hukum. Putusan MK telah mengembalikan NKRI pada pangkuan kedaulatan rakyat dan negara hukum.
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute, KPU Jember Periode 2003-2009 dan Penulis Buku Fiqih Pemilu Menyemai Nilai-nilai Agama dan Demokrasi.
Komentar