![]() |
Rapat Komisi D DPRD Kota Surabaya bersama OPD dan organisasi sosial di ruang Komisi D DPRD Kota Surabaya.(Dok/Istimewa). |
Dipimpin Ketua Komisi D, dr. Akmarawita Kadir, rapat ini dihadiri oleh perwakilan dari Bappedalitbang, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Disbudporapar, Disnaker, Satpol PP, serta organisasi masyarakat seperti Aliansi Surabaya Peduli AIDS (ASPA) dan Rekat Peduli Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, anggota Komisi D, Ajeng Wira Wati, menggarisbawahi perlunya penanganan HIV/AIDS yang lebih serius dan sistematis. Ia menekankan bahwa langkah progresif harus tetap dilakukan dengan kehati-hatian tinggi.
"Kita mengupayakan menindaklanjuti berbagai permasalahan pasien HIV/AIDS, namun tetap berhati-hati. Dengan Perpres 16 tahun 2018, kita ingin mendukung medical reminder system (MRS) dan warga Surabaya dalam penyelenggaraan layanan kesehatan yang lebih baik,"ujar Ajeng.
Ajeng juga menyoroti pentingnya pengelolaan anggaran daerah secara optimal, termasuk pemanfaatan skema swakelola.
"Kita ingin memastikan ada alokasi anggaran yang konsisten setiap tahun untuk mendukung eliminasi HIV/AIDS, bukan sekadar rencana di atas kertas,"tegasnya.
Pembaruan regulasi menjadi sorotan lain dalam rapat ini. William Wirakusuma, anggota Komisi D, menilai bahwa regulasi yang ada sudah tidak sesuai dengan kebutuhan kota metropolitan seperti Surabaya.
"Surabaya ini kota besar, sangat dinamis. Perda tentang penanggulangan HIV/AIDS yang dibuat 2012 sudah terlalu lama. Kita akan usulkan pembaruan agar lebih sesuai dengan perkembangan," katanya.
William juga mendorong pendirian shelter khusus bagi pasien HIV, AIDS, dan TBC, serta mempertahankan pendekatan tegas terhadap pasien TBC yang menolak berobat.
"Ini bukan diskriminasi. Penonaktifan dilakukan setelah pendekatan berulang. Tujuannya memotivasi pasien mau melanjutkan pengobatan demi kesehatan mereka dan masyarakat," jelas William.
Dari sisi komunitas, Hanif dari ASPA memaparkan keberhasilan dalam pendampingan dan edukasi sepanjang 2024. ASPA telah menjangkau lebih dari 20.000 individu dan melakukan ribuan tes kesehatan.
"Kami menyinkronkan kerja kami dengan rencana kerja pemerintah daerah, khususnya terkait pengentasan kemiskinan, peningkatan layanan kesehatan inklusif, serta eliminasi TBC dan HIV," terang Hanif.
Sementara itu, Ani dari Rekat Peduli Indonesia mengungkapkan tantangan berat di lapangan, khususnya terkait keberlanjutan pengobatan pasien TBC yang kerap terkendala ekonomi.
"Banyak dari mereka bekerja harian, sehingga jika harus berobat rutin, mereka kehilangan penghasilan bahkan terlilit utang. Kami bahkan pernah membantu membayar utang pasien agar mereka bisa melanjutkan pengobatan,"tutur Ani.
Ani juga mengingatkan soal ancaman berkurangnya dukungan donor internasional, sehingga peran pemerintah daerah menjadi semakin penting.
"Jika tidak segera disiapkan, program penanggulangan HIV/AIDS dan TBC bisa terancam, terutama di tingkat daerah seperti Surabaya,"tambahnya.
Komisi D DPRD Surabaya bertekad untuk segera mendorong pembaruan perda, pembangunan shelter khusus, serta penguatan model swakelola berbasis komunitas demi menciptakan sistem layanan kesehatan yang lebih inklusif, responsif, dan berkelanjutan.
"Semua ini bertujuan agar upaya eliminasi AIDS dan TBC di Surabaya benar-benar terwujud, bukan sekadar slogan," tutup dr. Akmarawita Kadir. (Lau)
Komentar