|
Menu Close Menu

PMII dan Metamodernisme: Tantangan dan Peluang Kaderisasi Masa Depan

Jumat, 18 April 2025 | 20.03 WIB

Oleh : Maksudi *) 


Lensajatim.id, Opini- Memasuki Harlah ke-65 pada 17 April 2025, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri di persimpangan zaman. Sebagai organisasi ekstra kampus yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), PMII telah melewati dinamika sejarah politik Indonesia—dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Di era metamodernisme, di mana realitas digital dan paradoks zaman saling berkelindan, PMII ditantang untuk merumuskan kembali model kaderisasi yang relevan. Bagaimana organisasi ini bisa memadukan nilai keislaman-keindonesiaan dengan semangat generasi kreator digital?


Sejarah dan Kilas Balik Paradigma PMII

PMII lahir pada 17 April 1960 di Surabaya sebagai respons atas carut-marut politik era Demokrasi Terpimpin. Didirikan oleh Mahbub Djunaidi, organisasi ini menjadi wadah mahasiswa NU untuk mengawal nilai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) sekaligus nilai keindonesiaan. Dalam perjalanannya, PMII mengalami transformasi paradigma gerakan yang mencerminkan respons terhadap dinamika sosial-politik. Pada 1997, di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar, PMII mengusung Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran yang fokus pada kritik ketimpangan sosial dan advokasi kelompok marginal. Gerakan ini menolak hegemoni negara dan kapitalisme, menekankan solidaritas dengan masyarakat terpinggirkan.


Dua tahun kemudian, di era Syaiful Bahri Anshori (1997-2000), PMII beralih ke Paradigma Kritis Transformatif (PKT). Pendekatan ini mengadopsi teori kritis Mazhab Frankfurt dan pemikiran intelektual muslim seperti Hasan Hanafi, Ali Asghar Engineer, dan Muhammad Arkoun. Dekonstruksi sistem yang menindas menjadi fokus, sambil membangun kesadaran kritis kader. Namun, di tengah arus neoliberalisme yang kian deras, selanjutnya pada kepemimpinan Ketua Umum Herry Harianto Azumi (2006-2008) PB PMII mengembangkan paradigma Menggiring Arus Berbasis Realitas. Di satu sisi, organisasi ini menggunakan analisis humanis kritis untuk mengkritik ketidakadilan, sambil memakai pendekatan fungsional-struktural untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam program pemberdayaan masyarakat. Nilai Aswaja tetap menjadi ruh gerakan, dengan prinsip tawasuth (moderasi), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) sebagai pedoman berfikr dan bergerak.


Konsepsi Paradigma Metamodernisme: Paradoks Zaman Kreator Digital

Metamodernisme, mula-mula merupakan istilah yang dicetuskan Mas’ud Zavarzadeh pada 1975 untuk menggambarkan tren sastra Amerika. Kini istilah ini merambah ruang digital sebagai semangat zaman yang tak terhindarkan. Seperti pendulum, ia bergeser antara idealisme modernis yang naif dan sinisme postmodernis yang apatis—sebuah gerakan yang oleh Fabio Vittorini disebut sebagai tarian antara fanatisme dan pragmatisme. Di sini, nihilisme dijinakkan, “Kita mungkin tak berarti, tapi mengapa tak menciptakan makna sambil menari?” sebagaimana diungkap Pieter Levels.


Era internet melahirkan Zaman Kreator Daring, di mana fanfiction, remix, meme, vlog hinjgga TikTok menjadi medium ekspresi. Fanfiction menghidupkan cerita lama, remix Beyoncé menyegarkan nostalgia, meme mengubah film jadi satire sosial, sementara vlog memadukan kegelisahan pribadi dengan refleksi kolektif. Berbeda dengan pseudo-modernisme pasif (klik-scroll-repeat), metamodernisme adalah keterlibatan aktif yang mengakui kefanaan.


Greg Dember merumuskan konsep seperti normcore (gaya sederhana yang meruntuhkan hierarki), ironi (sarkasme yang menyembunyikan kejujuran ala Modern Family), dan pastiche konstruktif-kolaborasi genre tanpa ejekan, seperti musik country-hip-hop yang jadi bahasa universal. Contoh nyata: iklan Bryan Wilson yang sengaja tak beraturan, memadukan meme dengan pesan profesional, menertawakan diri sambil menantang konvensi. Pada intinya, metamodernisme adalah seni merangkul ambiguitas: rekonstruksi dari reruntuhan dekonstruksi, ironi yang tulus, kolaborasi tanpa pretensi. Bukan jawaban, tapi ekspresi yang memungkinkan semua orang jadi aktor dan panggung sekaligus.


Bagi PMII, metamodernisme menawarkan peluang untuk mengubah kaderisasi menjadi proses yang dinamis. Greg Dember, lewat konsep normcore (mengadopsi gaya sederhana untuk meruntuhkan hierarki mode) dan pastiche konstruktif (kolaborasi genre musik untuk membangun emosi baru), menginspirasi pendekatan kreatif. Contohnya, kampanye moderasi beragama bisa disampaikan lewat konten TikTok yang memadukan humor dengan pesan keislaman, atau webinar keadilan iklim yang dikemas dalam format podcast interaktif. Namun, di balik peluang ini, ada tantangan: bagaimana menjaga nilai Aswaja di tengah banjir informasi dan budaya “klik-scroll-repeat” yang memicu individualisme?


Tantangan dan Peluang Kaderisasi PMII Masa Depan

Tantangan terbesar PMII adalah merespons disrupsi digital yang mengubah cara generasi muda berinteraksi. Survei BNPT (2019) menunjukkan 80% generasi Z rentan terpapar ekstremisme akibat kurangnya literasi kritis. Di sisi lain, krisis identitas akibat globalisasi mengaburkan batas antara nilai lokal dan transnasional. PMII harus menjaga keislaman yang moderat tanpa terjebak dalam skripturalisme-fundamentalis. Relevansi gerakan juga dipertanyakan ketika banyak organisasi mahasiswa terjebak dalam kompetisi jabatan internal, sementara masyarakat menghadapi krisis lingkungan, ketimpangan, dan keterasingan digital.


Namun, di balik tantangan, ada peluang besar. Pertama, kaderisasi bisa diintegrasikan dengan pelatihan teknologi seperti analisis big data untuk memetakan isu sosial atau penggunaan AI dalam kampanye literasi. Kedua, kreativitas digital menjadi senjata baru. Vlog yang merefleksikan kegelisahan sosial, meme kritis tentang ketimpangan, atau konten Instagram yang mengajak dialog lintas budaya bisa menjadi medium dakwah yang segar. Ketiga, kolaborasi metamodern memungkinkan PMII merangkul paradoks. Artinya, kritis terhadap kebijakan pemerintah, tetapi terbuka untuk kerja sama membangun ekonomi mikro seperti UMKM berbasis blockchain atau advokasi melalui platform digital.


Di usia ke-65, PMII harus menjadi pendulum yang lincah: menjaga warisan Aswaja sekaligus merangkul inovasi metamodern. Kaderisasi bukan lagi tentang mencetak pemimpin yang idealis atau sinis, tetapi generasi hebat yang mampu menari di atas paradoks zaman, kritis namun kolaboratif, religius namun inklusif, tradisional namun melek teknologi. Seperti kata Greg Dember, metamodernisme adalah seni “menciptakan makna di sini, sekarang, bersama.” Inilah tantangan sekaligus peluang PMII untuk tetap menjadi penggerak perubahan di tengah gempuran disrupsi.


Selamat Harlah ke-65, PMII! 

"Ilmu dan bakti kuberikan, adil dan makmur kuperjuangkan..."


Penulis adalah Pengurus PKC PMII Jawa Timur *) 

Bagikan:

Komentar